Hai,, hai,, hai…
Jumpa lagi,, jumpa kami kembali..
Yup,, saya ingin berbagi cerita lagi tentang tim KKN kami. Melanjutkan dari tulisan sebelumnya dimana ada peribahasa “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” udah nggak bisa dipungkiri lagi untuk dikesampingkan dimanapun kita berada. Setiap daerah atau dusun barangkali punya kultur yang berbeda dan saya yakin itu. Kultur yang terbentuk di masyarakat itu sendiri sangat mungkin dipengaruhi dari banyak hal, misalkan saja faktor kepercayaan atau agama yang dianut secara mayoritas oleh dusun tersebut atau bahkan desa itu sendiri. Kalo kita mengingat-ingat sejarah bangsa kita, tentu kita tidak akan asing lagi jika mendengar nama “Wali Songo”, yang berarti sembilan wali. Secara garis besar, kesembilan wali ini bertugas untuk menyampaikan dakwah-dakwah Islam di daerah-daerah Indonesia. Nah, untuk merangkul masyarakat Indonesia guna memeluk agama Islam, maka Wali Songo menggunakan banyak cara untuk bisa mencapai tujuannya tersebut. Salah satunya adalah melalui perpaduan budaya, dalam hal ini adalah budaya Jawa khususnya, dengan nilai-nilai ke-Islaman. Cara ini terbukti cukup efektif untuk merangkul banyak orang. Hingga kini, kita bisa menilai sendiri bagaimanakah pengaruh dari Wali Songo tersebut di masyarakat dalam konteks kehidupan sosial. Sebagai orang yang memiliki keturunan Jawa, saya mengenal adanya kalender Jawa meskipun saya sendiri kurang begitu memahaminya. Lho, apa hubungannya Wali Songo sampe kalender Jawa??
Dari data yang saya dapatkan, sistem penanggalan kalender Jawa yang digagas oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dengan menggabungkan penanggalan Hijriyyah dan Saka, di dalamnya terdapat satu bulan yang dinamakan bulan Ruwah atau dalam bahasa penanggalan Hijriyyah menjadi Sya’ban. Karena bulan Ruwah atau Sya’ban ini datang sebelum bulan Ramadhan, maka ada keistimewaannya. Kata Ruwah sendiri memiliki akar kata “arwah”, atau roh para leluhur dan nenek moyang. Konon dari arti kata arwah inilah sehingga menjadikan bulan Ruwah dijadikan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur. Dalam sejarah penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Wali Songo di Pulau Jawa, penghormatan kepada orang tua ataupun para leluhur coba diwadahi dalam suatu tradisi ruwahan. Namun demikian, ada juga dari sumber lain yang mengatakan kalo tradisi Ruwahan juga dipengaruhi oleh budaya Hinduisme yang ada di Indonesia,, apa ya? Barangkali karena ada penggunaan tahun Saka.
Well, mudah-mudahan penjelasan di atas bisa ngasi sedikit gambaran tentang apa itu tradisi Ruwahan. Nah, cerita yang menyangkut tentang kelompok KKN ini adalah beberapa jam sebelum tulisan ini dibuat, saya dan teman-teman yang berada dalam sub unit Dome A dan B, menghadiri acara ruwahan tersebut. Bagi saya pribadi, ini kali pertamanya saya mengenal Ruwahan, terlebih lagi di tempat KKN. Hehe,, pengalaman baru deh. Selain acara doa, tahlilan, dan pujian kepada Allah Swt, acara tradisi ini juga disuguhi makanan-makanan sederhana sebagai pelengkap. Duduk sila selama lebih dari 2 jam sudah menjadi hal biasa bagi kami,, hehe.. Meskipun ini adalah sesuatu yang baru saya pelajari dari kultur budaya masyarakat khususnya yang saya dapatkan di Dusun Sengir, Desa Sumberharjo, saya melihat beberapa hal positif di dalamnya, antara lain dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadhan, tradisi ini sekaligus menjadi momentum membersihkan diri dengan terus menyebut namaNya. Selain itu, dari segi duniawi, tradisi ini mempererat tali silaturahmi antar warga. Kok? Yup, setelah saya tanyakan pada warga Dome di Dusun Sengir, tradisi Ruwahan ini terus dilakukan di tiap rumah yang berbeda dalam satu RT hingga datangnya bulan Ramadhan. Di samping itu, kegiatan yang hampir dilakukan setiap hari ini akan menyuguhkan banyak makanan, yang mana hal itu berarti……. Untuk info juga,, di Dusun Sengir ada enam RT,, jadi gimana coba silahkan dibayangkan. Hehe,, bisalah untuk setelan anak kosan. ^_^
Wow… Hal seperti ini yang sangat jarang saya temui di kota-kota besar. Prinsip kebersamaan dan solidaritas yang ada di pedesaan menurut saya memiliki level yang lebih tinggi daripada di kota. Nah nah nah,, ini dia yang membuat saya belajar banyak hal dari program ini. Kembali pada esa mawa cara negara mawa tata, lain ladang lain belalang dan lain lubuk lain ikannya, saya mempelajari kultur masyarakat plus langsung berpartisipasi di dalamnya. Meskipun tadi sempet rada ngantuk, tapi saya mendapat ilmu dari masyarakat.
Poin terakhir inilah yang kemudian menjadi dasar bahwasanya menjadi kewajiban anak dan cucu untuk senantiasa mendoakan arwah leluhurnya yang telah meninggal. Untuk melembagakan sunnah tersebut ke dalam suatu tradisi serta untuk melebarkan sayap dakwah, maka lahirlah ruwahan. Dan ini sama sekali bukannya melegitimasi bahwasanya mendoakan arwah orang tua dan nenek moyang kita yang telah meninggal hanyalah dilakukan pada bulan Ruwah saja, karena sebenarnya doa untuk para arwah tersebut tidak mengenal batasan waktu tertentu. Hanya saja untuk keperluan syiar, nampaknya tradisi ruwahan dapat memberikan efek positif, terlebih dilaksanakan menjelang bulan Ramadhan untuk sekaligus bersuci diri.